
Kita sering mendengar kisah para pahlawan yang berjuang dengan gagah berani, tetapi tak banyak yang tahu bahwa sebagian dari mereka memilih kembali ke sunyi, menjauh dari sorak-sorai penghormatan. KH. Dzofir Salam adalah salah satunya. Setelah memimpin perlawanan bersenjata melawan Jepang dan Belanda, ia menutup lembaran itu tanpa pernah meminta balas jasa. Seolah-olah, pertempuran hanyalah selingan dalam hidupnya, dan tugas utamanya tetaplah mengajar dan membimbing santri.
Sebagai pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Talangsari, Jember, KH. Dzofir tidak hanya mencetak generasi santri yang alim dalam ilmu agama, tetapi juga menjadi penggerak perjuangan rakyat. Di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), ia pernah menjabat sebagai Ketua Ma’arif NU Jember dan Ketua Tanfidziyah NU Cabang Jember, menggantikan KH. Mahfudz Siddiq.
Namun, perannya tidak berhenti di dunia pendidikan. Pada masa penjajahan Jepang, KH. Dzofir adalah salah satu ulama yang secara terang-terangan menolak seikerei, penghormatan kepada Kaisar Jepang yang dianggap sebagai titisan dewa Amaterasu Omikami. Sikapnya ini membuatnya harus merasakan kejamnya penjara Jepang. Ia ditangkap hingga 13 kali dan mengalami siksaan berat, termasuk disetrum listrik oleh sipir penjara.
Ketika Agresi Militer Belanda I dan II terjadi, KH. Dzofir kembali tampil di garis depan perjuangan. Pada 25 Agustus 1947, ia memproklamirkan berdirinya Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat (PPPR) sebagai pusat komando rakyat dalam menghadapi invasi Belanda pasca-Proklamasi 1945. Bersama para santri dan masyarakat, ia memimpin berbagai perlawanan, termasuk:
- Perlawanan di Garahan, merebut pusat logistik Jepang untuk memperkuat perjuangan rakyat.
- Pertempuran di Ambulu, menghadang pasukan Belanda dengan taktik gerilya yang efektif.
- Serangan ke Pos Belanda di Kalisat dan Jelbuk, bersama tokoh pejuang lain seperti Fajar Nyata.
Semangat jihadnya dalam mempertahankan kemerdekaan bahkan menarik perhatian Van Der Plas, seorang orientalis Belanda yang penasaran dengan pengaruh dan keberanian KH. Dzofir. Van Der Plas dikabarkan pernah datang langsung untuk bertemu dengannya.
Namun, kepemimpinan KH. Dzofir bukan sekadar soal perang. Ia juga berperan dalam pendirian berbagai madrasah dan beberapa perguruan tinggi Islam di Jember, memastikan bahwa perjuangan tidak hanya di medan laga, tetapi juga di dunia pendidikan.
Namun, setelah perang usai, KH. Dzofir menolak segala penghargaan. Baginya, berjuang adalah kewajiban, bukan untuk mencari gelar atau tanda jasa.
“Aku berjuang lillahi ta’ala. Berjuang iku kewajiban. Wis mari angkat senjata, yo balik meneh muruk.”
(“Aku berjuang karena Allah. Berjuang itu kewajiban. Setelah perang selesai, ya kembali mengajar.”)
Dan memang begitulah ia menjalani hidupnya. Hingga wafatnya pada tahun 1995, ia tetap seorang kiai, seorang pendidik. Tidak ada upacara militer. Tidak ada deret pangkat kemiliteran yang disematkan di pusaranya. Ia pergi dengan tenang, dalam kesederhanaan, seperti jalan hidup yang ia pilih.
Namun, sejarah akan selalu menyisakan ruang bagi orang-orang seperti KH. Dzofir Salam—mereka yang bekerja dalam diam, berjuang tanpa menuntut balas, dan meninggalkan jejak yang lebih panjang dari usianya sendiri.
Selamat jalan, Kiai. Engkau tak pernah meminta penghormatan, tapi waktu akan memastikan namamu tetap hidup.
Ditulis oleh: Brandal Lokajaya
Sumber:
- Akmal Khafifudin, KH. Dzofir Salam: Ulama Jember yang 13 Kali Dipenjara Jepang, Alif.id
- Afthon Ilman Huda, Thoriqoh Sang Kyai, 2005
- Adil Satria Putra, Resolusi Jihad Kyai Pejuang di Jember, 2018